Dalam ar-Risaalah, imam Abul Qasim al-Qusyairi bercerita:
وكان بعض المشايخ يصلي في مسجد في الصف الأول سنين كثيرة، فعاقه يومًا عن الابتكار إلى المسجد عائق، فصلى في الصف الأخير، فلم ير بعد ذلك مدة،
"Dahulu ada tokoh sufi yang bertahun-tahun lamanya rajin salat berjemaah di mesjid, tepat di shaf pertama. Lalu pada suatu hari, ada satu hal yang menghalanginya untuk bisa cepat hadir ke mesjid, sehingga akhirnya beliau salat di shaf akhir. Semenjak itu, beliau tidak terlihat lagi salat di situ dalam beberapa waktu lamanya".
فسئل عن السبب، فقال : كنت أقضي صلاة كذا وكذا سنة صليتها؛ وعندي أني مخلص فيها لله، فداخلني يوم تأخري عن المسجد من شهود الناس إياي في الصف الأخير نوع خجل، فعلمت أن نشاطي طول عمري إنما كان رؤيتهم، فقضيت صلواتي.
"Lantas beliau ditanya tentang penyebabnya. Menurut pengakuannya, saya tidak terlihat selama ini karena saya mengulang kembali (qadha) salat-salat yang pernah saya lakukan selama setahun. Selama ini, saya merasa diri saya sudah ikhlas melaksanakan salat-salat tersebut. Tapi saat saya terlambat hadir ke mesjid, saya dihinggapi perasaan malu karena orang-orang melihat saya salat di shaf paling belakang. Akhirnya, saya menyadari bahwa selama ini saya rajin salat berjemaah di mesjid di shat pertama itu, hanyalah karena dilihat orang lain. Karena itu, saya memutuskan untuk meng-qadha salat-salat saya selama ini".
Qultu:
Subhanallah, beginilah ijtihad kaum sufi dalam memeriksa ketulusan amal ibadah, yang justru mereka lakukan secara giat.
Ya, memang secara tekstual, tidak ada ayat atau hadis yang menyebutkan apalagi menganjurkan cara seperti ini dalam mengevaluasi amal ibadah. Ini hanyalah ijtihad para sufi dalam dunia ibadahnya kepada Allah, sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Ibnu Taimiyah menjelaskan, ijtihad kaum Zuhhad atau Sufi dalam 'taqarrub' mereka kepada Allah, sama statusnya dengan ijtihad para ahli Fikih dalam menggali hukum agama. Mereka sama-sama bisa benar dalam berijtihad, dan juga bisa tersalah.
`Ala kulli hal, pengalaman ruhani seperti di atas itu, juga pernah saya pribadi rasakan. Saya termasuk orang yang agak malas melakukan salat sunat Rawatib, seusai salat sendiri di rumah. Kalau sudah salat sendiri, rasa malas kerap menghantui dan menghalangi untuk melaksanakan salat Rawatib.
Namun, saat melaksanakan salat berjemaah, entah itu di mesjid, surau atau lainnya, maka salat Rawatib itu terasa ringan dilakukan. Anehnya, itu justru bukan karena ada sosok manusia di situ yang ingin saya kejar pujian dan perhatiannya.
Awalnya, saya menilai itu hanyalah efek atau keberkahan dari salat berjemaah. Rasa malas berubah menjadi rajin. Tapi setelah saya coba sekali atau duakali untuk tidak melakukan salat Rawatib, seusai melaksanakan salat berjemaah, tiba-tiba saat itu saya merasa malu pada para jemaah yang hadir. Rasanya, para jemaah mencibir seolah-olah mereka mengatakan, ustad kok malah nggak salat Rawatib!?.
Setelah itu, barulah saya sadari bahwa selama ini saya rajin salat Rawatib seusai salat berjemaah itu, ternyata bukanlah karena efek atau keberkahan dari salat berjemaah, melainkan hanya karena semata-mata menjaga 'image'.
Wallaahu`lam
Tidak ada komentar: