Ketika Sayyidina Umar ibnul Khatthab mengumumkan penyerbuan ke Iliyya ( Yerussalem) untuk memgusir pasukan Romawi, Patriakh (Uskup) Iliyya pun mengirim surat kepada Umar ibnul Khatthab agar tidak menyamaratakan pasukan Romawi dengan Penduduk Iliyya dan mempertimbangkan kembali keputusannya itu.
Ilustrasi abad pertengahan mengenai direbutnya Yerusalem saat Perang Salib Pertama pada tahun 1099. |
Umar ibnul Khatthab pun menerima surat itu dan mempertimbangkan permintaan sang Uskup. Namun tawaran agar Umar dan pasukan muslimin tidak menyerbu Iliyya tidak bisa diterima Umar. Pasalnya, pasukan Romawi beberapa kali memprovokasi umat Islam dengan serangan-serangan sporadis yang diarahkan kepada kabilah-kabilah dagang umat Islam yang hilir mudik ke Damaskus. Bagi Umar, untuk menciptakan stabilitas di wilayah itu, pilihannya adalah mengusir pasukan Romawi dari kawasan Syam.
Namun, meskipun menolak seruan untuk menghentikan serbuan, Umar memberikan jaminan kepada Uskup Iliyya dan penduduk Katolik Iliyya bahwa akan aman dari serbuan itu. Umar pun menulis sebagai berikut:
Dari pemimpin umat Islam, Umar ibnu al-Khatthab kepada pemuka agama Masehi dan masyarakat Iliyya. Bahwa saya, Umar ibnu al-Khatthab, memerintahkan pasukan umat Islam untuk:
1. menjaga kehormatan simbol-simbol agama Masehi dan melarang merusaknya.
2. menjaga keamanan tokoh-tokoh agama Masehi dan dilarang menyakitinya.
3. menjaga keamanan penduduk Iliyya terutama kaum wanita, anak-anak dan kalangan orang tua mereka.
2. menjaga keamanan tokoh-tokoh agama Masehi dan dilarang menyakitinya.
3. menjaga keamanan penduduk Iliyya terutama kaum wanita, anak-anak dan kalangan orang tua mereka.
Umar juga melarang pasukan umat Islam melakukan perusakan terhadap tanaman, dan kebun milik masyarakat Iliyya. Beliau juga melarang pasukan umat Islam, membunuh hewan-hewan ternak milik penduduk.
Umar menegaskan bahwa pasukan umat Islam hanya terfokus mengusir tentara Romawi dan para pendukungnya di Iliyya (Yerussalem).
Singkat cerita, pasukan umat Islam berhasil memukul mundur pasukan Romawi ke negaranya. Yerussalem pun jatuh ke tangan umat Islam.
Ketika akan terjadi penyerahan kunci kota, Umar masuk ke Yerussalem tanpa didampingi pasukan khusus. Ia hanya ditemani pembantunya. Patriak atau Uskup Yerussalem pun menyambut Umar di gerbang kota. Betapa terkejutnya sang Uskup melihat penampilan Umar yang jauh dari kesan mewah sebagai pemimpin umat Islam. Ia hanya ditemani seorang pembantu, mengendarai seekor unta bukan kuda perang sebagaimana lazim para pemimpin negara.
Setelah bersalaman, Uskup pun mengajak Umar ke al-Aqsha. Tapi, Umar justru berkeinginan lain. Ia ingin pertama kali meninjau gereja al-Qamama yang berada di dekat al-Aqsha. Sang Uskup pun bertanya kenapa Umar lebih mendahulukan meninjau gereja daripada masjid? Sayyidina Umar mengatakan bahwa ia ingin memastikan bahwa perintahnya ditaati oleh pasukan umat Islam yaitu tidak merusak simbol-simbol agama Nasrani, seperti salib, altar, bahkan bangunan gereja.
Bagi sang Uskup, tentu keinginan Umar itu merupakan bentuk penghormatan kepada agama Nasrani. Diajaklah Umar untuk masuk ke dalam gereja. Ketika mendengar suara azan dari masjid, Umar pun bergegas keluar dari gereja. Melihat reaksi Umar ingin melaksanakan sholat, Uskup Yerussalem mempersilakan agar Umar melaksanakan sholat di dalam Gereja.
Namun, kebaikan Sang Uskup itu ditolak oleh Sayyidina Umar. Beliau mengatakan bahwa dirinya khawatir jika permintaan sholat di gereja itu dipenuhi akan menjadi preseden tidak baik bagi hubungan umat kedua agama di kemudian hari.
(kisah disadur dari kitab al-Bidayah wa al-Nihayah karya Imam Ibnu Katsir dan Umar ibnul Khatthab karya Syaikh Muhammad Ridho)
Membaca kisah di atas, kita bisa menilai betapa jauhnya akhlak ISIS dari contoh yang ditunjukkan oleh Sayyidina Umar ibnu al-Khatthab radhiyallahu anhu.
ISIS tidak bisa mengatasnamakan Islam di dalam perjuangannya.
~ KH. Abdi Kurnia Djohan ~
Tidak ada komentar: