#Sebuah Catatan dari Gus Sur dari pengajian KH Marzuki Mustamar di Mushalla PWNU Jatim, 25 Desember 2017.
Ini adalah alasan ketiga yang diajukan untuk menjawab pertanyaan pada judul tulisan. Alasan-alasan ini seperti sebelumnya, saya mendapatkan inspirasinya dari mengikuti kajian keNUan pada KH Marzuki Mustamar di Musholla kantor PWNU Jatim (Ahad, 24 Desember 2017). Beliau, waktu itu membuat analog tentang makan sate. Seseorang mulutnya bisa sangat berkeinginan, berselera untuk makan sate yang disukainya. Apakah keinginan itu harus diwujudkan? Bagi orang yang berwawasan luas, tidak bisa langsung menurutinya. Seseorang harus melihat secara utuh atas kondisi tubuhnya. Jika makan sate kambing, apakah kolesterolnya, tensi darahnya dan kondisi fisik lainnya akan baik-baik saja secara kesehatan? Soal makan saja, seseorang harus mempertimbangkan banyak hal.
Sebuah hadits menyebutkan bahwa “Perumpamaan kaum mukmin dalam sikap saling mencintai, mengasihi dan menyayangi, seumpama tubuh, jika satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh yang lain akan susah tidur atau merasakan demam.” Cakupan besaran analog tubuh hendaknya sangat luas, meliputi keseluruhan dunia. Orang muslim di Jawa, hendaknya merasakan kecintaannya ibarat satu tubuh dengan muslim di Somalia, Yaman, Belgia dan sebagainya. Problem muslim di Swiss akan berdampak pada muslim di belahan dunia lainnya. Itulah cara pandang global.
Cara pandang ini bisa membantu kita memahami mengapa Gus Dur sangat membela minoritas. Sebab umat muslim di berbagai belahan dunia tidak mayoritas semua. Artinya membela minoritas, akan membawa dampak terlindunginya umat muslim minoritas di dunia lainnya. Kalau umat Islam di Jawa melindungi umat kristiani di Jawa, harapannya umat kristiani di Papua juga akan memperlakukan hal sama pada umat muslim di Papua. Ketika warga muslim sunni di Indonesia menghormati keberadaan Syiah atau Ahmadiyah atau lainnya di Indonesia, harapannya juga demikian warga sunny di Iran atau di Inggris mendapatkan perlakuan yang layak.
Dalam kerangka NKRI yang menghargai perbedaan keragaman budaya, agama, maka cara pandang holistik tersebut mempunyai relevansi yang kuat. Jika Indonesia adalah negara Islam yang sunny, belum tentu memberi ruang bebas kepada Ahmadiyah dan Syiah seleluasa dalam konteks NKRI? Termasuk warga Tiong Hwa penganut Kong Hu Cu juga mendapatkan tempat baik dalam NKRI. Umat Islam di China juga mendapatkan perlakuan baik.
Orang bisa berkeinginan mendirikan khilafah, tetapi apakah bisa membantu umat Islam di belahan dunia lain? Atau sebaliknya justru membuat citra buruk dan membuat umat muslim minoritas di negara lain tidak diperlakukan dengan baik? Kondisi di Timur Tengah yang berebut kuasa dan pengaruh yang dilatari aliran faham yang berbeda telah memproduksi pengungsi besar-besaran ke tanah Eropa. Mereka menjadi minoritas di sana, tentu perlakuan yang diterimanya tidak seideal jika yang melayani adalah mereka sesama muslim yang saling mencintai seperti satu tubuh. Pikirkanlah seperti mau makan sate kambing tadi dengan mempertimbangkan kondisi kesehatan anggota tubuh lainnya.
Mudahnya, mari Bertindak lokal, berpikir global. Jangan memikirkan diri sendiri, sebab kelak orang lain juga akan memikirkan dirinya sendiri, tak akan peduli denganmu.
Selanjutnya:
MENGAPA HARUS MEMBELA NKRI (#4)
Tidak ada komentar: